Kamis, 25 Juni 2015

Muhammad Iqbal dan Pemikiran Keislaman



A.    Biografi Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal dilahirkan di Sialkot, Punjab Barat Laut. Mengenai waktu kelahiran secara tepat terdapat perselisihan seperti dikemukakan oleh A. Schinmel dalam The Date of M. Iqball`s Birth, bahwa kelahiran Iqbal tanggal 22 februari 1873, tetapi dalam tesisnya, penyair (Iqbal) itu sendiri menuliskan tanggal kelahiran 2 Dzulqaidah 1294 H / 1876 M. mengingat tahun 1294 Hijriah dimulai bersamaan dengan januari 1877 M. bersesuaian dengan 2 Dzulqaidah 1294 M, maka tanggal 9 November 1872 bersesuaian dengan perbedaan fase kehidupan Iqbal di callege dan Universitas dibandingkan tahun 1973. Mengenai kekeliruan tanggal kelahiran Muhammad Iqbal yang menyamakan tahun 1294 dengan 1876 dapat terjadi karena kemungkinan reformasi yang ia terima dari bapaknya memang telah keliru, kekeliruan bapaknya itu tampaknya karena itu lebih memperhatikan tanggal Hijriah dibandingkan dengan tanggal Masehi, sehingga penulisan tanggal Hijriah lengkap sedangkan untuk Masehinya hanya tahun saja yang tertulis.
Keluarga Iqbal berasal dari Khamsir. Bapaknya seorang pedagang kecil kemungkinan buta huruf, namun ia adalah seorang muslim yang sangat ikhlas, shahih lahi sufi, yang mendorong anaknya untuk secara teratur menghafal al-quran, demikian berpengaruh terhadap prilaku Iqbal dalam hidupnya secara menyeluruh. Mengenai nama ibunya Schimmul tidak menyebutnya, namun dari syair yang dikutipnya tampak bahwa ibu Iqbal adalah seorang wanita taat beragama, besar kecintaannya pada anaknya, demikian pula Iqbal juga mencintainya. Jika pewarisan itu dapat terjadi secara fisik berdasarkan gen, tampaknya demikian pula secara spiritual. Dan inilah yang terjadi pada diri Iqbal yang lahir dari ibu bapak yang sama–sama taat beragama. Iqbal belajar yang pertama kali di The Scottish Mission College dikampung halamannya di Sialkot.
Diantara guru-gurunya selalu memberikan dorongan bagi kemajuan pelajar muda itu yang tampak tertarik pada sastra dan agama begitu cepat. Sesudah menikah, Iqbal hijrah ke Lahora pada tahun 1895 untuk melanjutkan study tingkat atasnya ke kota yang merupakan salah satu pusat keagamaan dan kebudayaan di negara itu sejak Ghaznawi berkuasa pada abad XI dan XII, dan khususnya pada priode akhir Mongol di sekolah inilah Iqbal berjaya dapat bertemu dengan Orientalis Inggris terkenal Sir Thomas Arnold yang segera menyadari kemampuan Iqbal. Menurut Harun Nasution terdapat keterangan bahwa Sir Thomas adalah yang mendorong pemuda Iqbal untuk melanjutkan study di Inggris. Ia berangkat ke Inggris pada tahun 1905 belajar falsafah dan hukum, guru terkemukanya di Cambridge adalah Nco-Hegelian Motaggart. Pada tahun 1907 ia meninggalkan Inggris menuju Jerman, mempelajari bahasanya di Haidelbarg dan mengajukan tesisnya tentang Perkembangan Metafisika di Persia (The Development Of Metaphisich In Persia) Bulan November 1997 di Universitas Munich.
Sesudah memperoleh gelar Dr. Phil dari Munich, Iqbal kembali ke London memberi kuliah di musim semi 1908 tentang topic–topic keislaman, kemudian kembali ke India pada musim panas. Sejak itu ia memberikan kuliah–kuliah tentang filsafat dan Sastra Inggris. Ia juga terjun sebagai pengacara. Akan tetapi beberapa waktu kemudian ia berhenti mengajar, untuk selanjutnya ia mengkonsentrasikan diri pada bidang hukum.Pada akhir tahun 1928 dan minggu-minggu pertama tahun 1929 ia memberikan kuliah di Universitas tersebut yang kemudian dipublikasikan dengan judul Six Lectures On The Recontruction Thought In Islam (pada edisi berikutnya hanya : The Reconstruction…) merupakan esensi falsafah karya iqbal. Dalam bidang politik, karir Iqbal mencapai puncaknya ketika di pilih menjadi presiden Liga Muslimin pada tahun 1930 ketika itulah ia mengemukakan gagasannya yang amat monumental tentang perlunya mewujudkan negara tersendiri bagi kaum muslimin yang terpisah dengan India yang hindu.

·         Pada bulan–bulan terakhir tahun 1931 iqbal mengikuti Konferensi Meja Bundar II di London. Sekembalinya dari sana ia menghadiri Kongres Muslim Dunia di Yerussalem. Pada tahun 1932 Iqbal kembali lagi ke London untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar III. Di pagi hari tanggal 21 April 1938 ia meninggal dunia dalam usia 67 tahun. Dan memang ia meninggal dengan senyum ketenangan, seraya bibirnya menyebut Allah. (Muhammad Iqbal: www.http//wordpres.com).
B.     Latar Belakang Pendidikannya
Iqbal berasal dari keluarga miskin, dengan mendapatkan beasiswa dia mendapat pendidikan bagus. Keluarga Iqbal berasal dari keluarga Brahmana Kashmir yang telah memeluk agama Islam sejak tiga abad sebelum kelahiran Iqbal, dan menjadi penganut agama Islam yang taat.
Pada usia sekolah, Iqbal belajar Al Qur’an di surau. Disinilah Iqbal banyak hafal ayat-ayat Al Qur’an yang selanjutnya jadi rujukan pengembangan gagasannya dalam pembaharuan keislamannya.
Selanjutnya dia meneruskan ke Scottish Mission School Sialkot. Disini dia bertemu guru ternama sekaligus teman karib ayahnya, Sayid Mir Hasan. Pengaruh Mir Hasan ini sangat kuat pada dirinya ini dibuktikannya dengan menolak pemberian gelar Sir oleh pemerintah inggris pada tahun 1922, sebelum gurunya mendapat gelar kehormatan pula, yaitu Syams al-Ulama
Pada tahun 1895 Iqbal menyelesaikan pelajarannya di Scottish dan pergi ke Lahore. Disini ia melanjutkan studi Government College, gurunya adalah Sir Thomas Arnold. Disini dia mendapatkan dua kali medali emas karena baiknya bahasa Inggris dan Arab karena kejeniusannya pula dia menjadi mahasiswa kesayangan Sir Thomas Arnold. Arnoldlah yang mendorongnya agar melanjutkan pendidikannya ke Inggris karena melihat kejeniusan Iqbal. Setelah selesai di Government College Iqbal belajar ke Eropa pada tahun 1905. Dari sini pengembangan intelektual Iqbal dimulai.
Iqbal memilih melanjutkan di Cambridge University, Inggris, ia belajar filsafat dengan Mc. Taggart, kemudian mengambil gelar doktor (Ph.D) di Munich Jerman dan luluspada tahun1908 dengan disertasi berjudul The Development of Methapysics of Persia.Didalam disertasi inilah Iqbal mengkritik tajam ajaran tasawwuf dengan mengatakan tidak mempunyai dasar yang kukuh dan historis dalam ajaran Islam yang murni. Iqbal melihat ada nilai-nilai baik yang transendental yang tak dimiliki oleh Eropa Barat, menurut Iqbal kehilangan semangat spritual dan terlalu menumpukan pada rasio dalam menjawab setiap problematika.Meskipun ia mengakui Eropa baik, tapi ia yakin Islam lebih baik. Dia kembali dari Eropa sebagai PanIslamis bahkan bisa dikatakan sebagai puritan. Perubahan spritual dan ideologis Iqbal makin dalam dari nasionalis menjadi kampiun kebangsaan Muslim dia merasa yakin bahwa antara Hindu dan Islam harus punya negara masing-masing secara terpisah dan tindakannya sendiri sudah jelas. (Munir : 2012.www.blogspot.com)

C.    BUAH KARYA MUHAMMAD IQBAL
Muhammad Iqbal adalah seorang yang kreatif berpuisi. Segala pemikiran dan perjuangannya terpancar dalam puisinya yang bernafaskan Islam dengan pengolahan bahasa dan bait syair yang indah. Oleh kerana itu beliau lebih dikenal sebagai sastrawan besar islam. Antara karya puisinya yang dianggap besar pernah diterbitkan ialah Asrari Khudi (Rahasia Pribadi), terbit pada tahun 1915, diikuti dengan Rumuz bi Khudi (Rahasia tidak Mementingkan Diri Sendiri), pada tahun 1917, Fayami Mashriq (Pesan Untuk Timur), Tulu'ul Islam (Munculnya Islam) dan banyak lagi pada tahun-tahun berikutnya, bukunya yang dianggap penting ialah Reconstruction of Religious Thought in Islam (Membina Kembali Cita-Cita Keagamaan Dalam Islam), Develoment of Methaphysies in Persia : A Contribution to the History of Moslem Philoshopy (perkembangan metafisika Persia suatu sumbangan untuk sejarah filsafat Islam) dan sebuah lagi yang tidak dapat disiapkannya kerana sakit tua yang dideritanya ialah The Reconstruction of Muslim Jurisprudence. Kebanyakan sajak-sajaknya ditulisnya dalam bahasa Parsi dan Urdu. (www.bimbie.com/muhammad-iqbal.htm)

D.    Pemikiran – Pemikiran Muhammad Iqbal
  1. Pemikiran tentang Al-Qur’an
Sebagai seorang yang terdidik dalam keluarga yang kuat memegang prinsip Islam, Iqbal meyakini bahwa al-Qur’an adalah benar firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril. Al-Qur’an adalah sumber hukum utama dengan pernyataannya “The Qur’an Is a book which emphazhise deed rather than idea” (al-Qur’an adalah kitab yang lebih mengutamakan amal daripada cita-cita). Namun dia berpendapat bahwa al-Qur’an bukanlah undang-undang. Dia berpendapat bahwa penafsiran al-Qur’an dapat berkembang sesuai dengan perubahan jaman, dan pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Tujuan utama al-Qur’an adalah membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta, jika al-Qur’an tidak memuatnya secara detail maka manusialah yang dituntut untuk mengembangkannya. Dalam istilah fiqh hal ini disebut ijtihad. Ijtihad dalam pandangan Iqbal adalah sebagai prinsip gerak dalam struktur Islam. Disamping itu al-Qur’an memandang bahwa kehidupan adalah satu proses cipta yang kreatif dan progresif. Oleh karenanya, walaupun al-Qur’an tidak melarang untuk memperimbangkan karya besar ulama terdahulu, namun masyarakat harus berani mencari rumusan baru secara kreatif dan inovatif untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Akibat pemahaman yang kaku terhadap ulama terdahulu, maka ketika masyarakat bergerak maju, hukum tetap berjalan di tempatnya. 
Iqbal juga mengeluh tentang ketidakmampuan masyarakat India dalam memahami al-Qur’an disebabkan tidak memahami bahasa arab dan telah salah mengimpor ide-ide India (Hindu) dan Yunani ke dalam Islam dan Al-Qur’an. Iqbal begitu terobsesi untuk menyadarkan umat Islam untuk lebih progresif dan dinamis dari keadaaan statis dan stagnan dalam menjalani kehidupan duniawi. Karena berdasarkan pengalaman, agama Yahudi dan Kristen telah gagal menuntun ummat manusia menjalani kehidupan. Kegagalan Yahudi disebabkan terlalu mementingkan legalitas kehidupan duniawi. Sedangkan kegagalan Kristen adalah dalam memberikan nilai-nilai kepada pemeliharaan Negara, undang-undang dan organisasi disebabkan terlalu mementingkan segi ibadah ritual. Dalam kegagalan kedua agama tersebut, menurut Iqbal, al-Qur’an berada di tengah-tengah dan sama-sama mengajarkan keseimbangan kedua kehidupan tersebut, tanpa membeda-bedakannya.
Baginya antara politik pemerintahan dan agama tidak ada pemisahan sama sekali. Inilah yang dikembangkannya dalam merumuskan ide berdirinya Negara Pakistan yang memisahkan diri dari India yang mayoritas Hindu.
  1. Pemikiran tentang Hadith
Sejak dulu hadith memang selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji. Baik umat Islam maupun kalangan orientalis. Tentu saja maksud dan titik berangkat dari kajian tersebut berbeda pula. Umat Islam didasarkan pada rasa tanggung jawab yang begitu besar terhadap ajaran Islam. Sedangkan orientalis mengkajinya hanya untuk kepentingan ilmiah. Bahkan terkadang hanya untuk mencari kelemahan ajaran Islam lewat ajaran Islam itu sendiri. 
Iqbal memandang bahwa ummat Islam perlu melakukan studi mendalam terhadap literatur hadith dengan berpedoman langsung kepada Nabi sendiri selaku orang yang mempunyai otoritas untuk menafsirkan wahyunya. Hal ini sangat besar faedahnya dalam memahami nilai-nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan al-Qur’an.
Iqbal sepakat dengan pendapat Syaikh Waliyullah tentang hadith, yaitu cara Nabi dalam menyampaikan dakwah Islam dengan memperhatikan kebiasaan, cara-cara dan keganjilan yang dihadapinya ketika itu. Selain itu juga Nabi sangat memperhatikan sekali adat istiadat penduduk setempat. Dalam penyampaiannya, Nabi lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan sosial bagi seluruh umat manusia, tanpa terkait oleh ruang dan waktu. Jadi peraturan-peraturan tersebut khusus untuk umat yang dihadapi Nabi. Untuk generasi selanjutnya, pelaksanaannya mengacu pada prinsip kemaslahatan. Dari pandangan ini Iqbal menganggap wajar saja kalau Abu Hanifah lebih banyak mempergunakan konsep istihsan dari pada hadits yang masih meragukan kualitasnya. Ini bukan berarti hadith-hadith pada jamannya belum dikumpulkan, karena Abu Malik dan Az-Zuhri telah membuat koleksi hadits tiga puluh tahun sebelum Abu Hanifah wafat. Sikap ini diambil Abu Hanifah karena ia memandang tujuan-tujuan universal hadith daripada koleksi belaka. 
  1. Pemikiran tentang Ijtihad
Menurut Iqbal, ijtihad adalah “Exert with view to form an independent judgment on legal question” (bersungguh-sungguh dalam membentuk suatu keputusan yang bebas untuk menjawab permasalahan hukum). Kalau dipandang, baik hadith maupun al-Qur’an memang ada rekomendasi tentang ijtihad tersebut. Disamping ijtihad pribadi, hukum Islam juga memberi rekomendasi keberlakuan ijtihad kolektif. Ijtihad inilah yang selama berabad-abad dikembangkan dan dimodifikasi oleh ahli hukum Islam dalam mengantisipasi setiap permasalahan masyarakat yang muncul sehingga melahirkan aneka ragam pendapat (madzhâb). Sebagaimana mayoritas ulama, Iqbal membagi ijtihad ke dalam tiga tingkatan, yaitu : 
1.      Otoritas penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri madzhâb-mazhâb saja.
2.      Otoritas relatif yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhâb.
3.      Otoritas khusus yang berhubungan dengan penetapan hukum dalam kasus-kasus tertentu, dengan tidak terkait pada ketentuan-ketentuan pendiri madzhâb.
Iqbal menggaris bawahi pada derajat yang pertama saja. Menurut Iqbal, kemungkinan derajat ijtihad ini memang disepakati diterima oleh ulama ahl al-sunnah, tetapi dalam kenyataannya dipungkiri sendiri sejak berdirinya mazhâb-mazhâb. Ide ijtihad ini dipagar dengan persyaratan ketat yang hampir tidak mungkin dipenuhi. Sikap ini, lanjut Iqbal, adalah sangat ganjil dalam suatu sistem hukum al-Qur’an yang sangat menghargai pandangan dinamis. Akibat ketentuan ketatnya ijtihad ini, menjadikan hukum Islam selama lima ratus tahun mengalami stagnasi dan tidak mampu berkembang . Ijtihad yang menjadi konsep dinamis hukum Islam hanya tinggal sebuah teori-teori mati yang tidak berfungsi dan menjadi kajian-kajian masa lalu saja. Demikian juga ijma’ hanya menjadi mimpi untuk mengumpulkan ulama, apalagi dalam konsepnya satu saja ulama yang tidak setuju maka batallah keberlakuan ijma’ tersebut, hal ini dikarenakan kondisi semakin meluasnya daerah Islam. Akhirnya kedua konsep ini hanya tinggal teori saja, konsekuensinya, hukum Islam pun statis tidak berkembang selama beberapa abad.
4.      Pemikiran politiknya
Pada tahun 1927, Iqbal berkiprah di arena politik secara aktif dan Ia dipilih sebagai perwakilan Dewan Punjab selama tiga tahun. Selanjutnya pada tahun 1930 diangkat menjadi presiden Sidang Tahunan Liga Muslim yang berlangsung di Allahabad. Dalam kesempatan ini Iqbal mengutarakan ide pembentukan sebuah negara Islam Pakistan. Ide ini dibentangkan berdasarkan geografi, keagamaan dan kesejahteraan masyarakat Islam yang jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan masyarakat Hindu. Tujuan membentuk negara islam itu ditegaskan oleh Iqbal dalam rapat Liga Muslim pada tahun 1930 yang mendapat dukungan dari para anggotanya. Sejak saat itu ide dan tujuan pembetukan negara Islam tersebut diumumkan secara resmi dan kemudian menjadi tujuan perjuangan nasional umat Islam India. Disebabkan gagasan ide ini, Iqbal telah diberi julukan sebagai : ‘Bapak Pakistan’. Daerah-daerah yang diinginkan oleh Iqbal menjadi satu negara Islam India adalah Punjab, daerah perbatasan Utara Sind dan Balukhistan. Di samping menyuarakan pembentukan negara Islam Pakistan, Iqbal juga menyeru kepada kebangkitan dan mempererat persaudaraan Islam sedunia. Bagaimanapun sebagai seorang yang dilahirkan di Timur, Iqbal tetap mempertahankan dan menyanjung kebudayaan dan keperibadian Timur yang halus, tinggi dan indah. Tentunya termasuk dalam arti kata Timur itu ialah hasil budaya masyarakat benua kecil India. Terbentuknya negara islam Pakistan sebagaimana yang dicita-citakan Muhammad Iqbal dapat tercapai pada tahun 1947 setelah beliau meninggal dunia.
5.      Pemikiran Filsafatnya
Pemikiran Muhammad Iqbal tentang Filsafat DiriIqbal memiliki beberapa gagasan menarik seputar pemikiran dan filsafat Islam. Salah satu gagasannya yang terkenal adalah penjelasan tentang konsep ego (khudi). Menurut Iqbal ego adalah pendorong daya aktivitas, dan kreativitas pada setiap manusia. Setiap manusia memilki ego yang berbeda, karenanya hasil kreasi yang yang mereka ciptakan juga tidak sama. Dalam tulisannya iqbal berpendapat bahwa kesatuan intuitif atau titik kesadaran pencerahan merupakan hal yang menerangi pikiran, perasan dan keinginan manusia merupakan hal yang diliputi rahasia serta mengorganisasi berbagai kemampuan yang tidak terbatas dalam ftrah manusia.
Iqbal menolak intelektualisme, dalam hal ini sejalan dengan pemikiran Nietczhi dan Bergsan, demikian pula dengan tasawuf. Dengan intelektualitas semata-mata “diri” belum sempurna., oleh karena yang lebih utama adalah “karsa”, disamping peranan naluri-naluri perasaan sebagaimana pendapat William Medougali. Dari tasawuf Ar-Rumi beliau menerima peranan “cinta” dalam diri manusia, sedangkan menurut Nietczhi tentang manusia adalah berkarsa (voluntarisme) yang oleh Nietczhi disebut “Uber Mensh” dan oleh Iqbal disebut “Mukmin”. Sedangkan prinsip adanya unsur “unbelief” dalam ajaran Nietczhi ditolaknya digantikan dengan unsur ‘imam” Ar-Rumi.
Iqbal tidak mutlak menerima Bergson yang anti intelektualisme, karena menurut Iqbal intelektualisme itu tetap diperlukan, tetapi harus integral denga hati dan kemauan (bandingan denga sufi yang hanya mengutamakan perasan hati).
Selanjutnya menurut iqbal, suatu Individu dalam prosesnya berkembang secara evolusi menuju “kepribadian” (personality, ego, khudi) merupakan integritas antara fisik dan psikis. (www.slideshare.net//pemikiran-muhammad-iqbal)

0 komentar:

Posting Komentar

...
 
;