A. Biografi
Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal dilahirkan di
Sialkot, Punjab Barat Laut. Mengenai waktu kelahiran secara tepat terdapat
perselisihan seperti dikemukakan oleh A. Schinmel dalam The Date of M. Iqball`s
Birth, bahwa kelahiran Iqbal tanggal 22 februari 1873, tetapi dalam tesisnya,
penyair (Iqbal) itu sendiri menuliskan tanggal kelahiran 2 Dzulqaidah 1294 H /
1876 M. mengingat tahun 1294 Hijriah dimulai bersamaan dengan januari 1877 M.
bersesuaian dengan 2 Dzulqaidah 1294 M, maka tanggal 9 November 1872
bersesuaian dengan perbedaan fase kehidupan Iqbal di callege dan Universitas
dibandingkan tahun 1973. Mengenai
kekeliruan tanggal kelahiran Muhammad Iqbal yang menyamakan tahun 1294 dengan
1876 dapat terjadi karena kemungkinan reformasi yang ia terima dari bapaknya
memang telah keliru, kekeliruan bapaknya itu tampaknya karena itu lebih
memperhatikan tanggal Hijriah dibandingkan dengan tanggal Masehi, sehingga
penulisan tanggal Hijriah
lengkap sedangkan untuk Masehinya
hanya tahun saja yang tertulis.
Keluarga Iqbal berasal dari Khamsir.
Bapaknya seorang pedagang kecil kemungkinan buta huruf, namun ia adalah seorang
muslim yang sangat ikhlas, shahih lahi sufi, yang mendorong anaknya untuk
secara teratur menghafal al-quran, demikian berpengaruh terhadap prilaku Iqbal
dalam hidupnya secara menyeluruh. Mengenai nama ibunya Schimmul tidak
menyebutnya, namun dari syair yang dikutipnya tampak bahwa ibu Iqbal adalah
seorang wanita taat beragama, besar kecintaannya pada anaknya, demikian pula
Iqbal juga mencintainya. Jika pewarisan itu dapat terjadi secara fisik
berdasarkan gen, tampaknya demikian pula secara spiritual. Dan inilah yang
terjadi pada diri Iqbal yang lahir dari ibu bapak yang sama–sama taat beragama.
Iqbal belajar yang pertama kali di The Scottish
Mission College dikampung halamannya di Sialkot.
Diantara guru-gurunya selalu
memberikan dorongan bagi kemajuan pelajar muda itu yang tampak tertarik pada
sastra dan agama begitu cepat. Sesudah menikah, Iqbal hijrah ke Lahora pada
tahun 1895 untuk melanjutkan study tingkat atasnya ke kota yang merupakan salah
satu pusat keagamaan dan kebudayaan di negara itu sejak Ghaznawi berkuasa pada
abad XI dan XII, dan khususnya pada priode akhir Mongol di sekolah inilah Iqbal
berjaya dapat bertemu dengan Orientalis Inggris terkenal Sir Thomas Arnold yang
segera menyadari kemampuan Iqbal. Menurut Harun Nasution terdapat keterangan
bahwa Sir Thomas adalah yang mendorong pemuda Iqbal untuk melanjutkan study di Inggris. Ia berangkat
ke Inggris pada tahun 1905 belajar falsafah dan hukum, guru terkemukanya di
Cambridge adalah Nco-Hegelian
Motaggart. Pada tahun 1907 ia meninggalkan Inggris menuju Jerman, mempelajari bahasanya di Haidelbarg
dan mengajukan tesisnya tentang Perkembangan Metafisika di Persia (The Development Of Metaphisich In Persia) Bulan November 1997 di Universitas Munich.
Sesudah memperoleh gelar Dr. Phil
dari Munich, Iqbal kembali ke London memberi kuliah di musim semi 1908 tentang
topic–topic keislaman, kemudian kembali ke India pada musim panas. Sejak itu ia memberikan kuliah–kuliah tentang filsafat dan Sastra Inggris. Ia juga terjun sebagai
pengacara. Akan tetapi beberapa waktu kemudian ia berhenti mengajar, untuk
selanjutnya ia mengkonsentrasikan diri pada bidang hukum.Pada akhir tahun 1928
dan minggu-minggu pertama tahun 1929 ia
memberikan kuliah di Universitas
tersebut yang kemudian dipublikasikan dengan judul Six Lectures On The Recontruction Thought In Islam (pada edisi berikutnya hanya : The Reconstruction…) merupakan esensi
falsafah karya iqbal. Dalam
bidang politik, karir Iqbal mencapai puncaknya ketika di pilih menjadi presiden
Liga Muslimin pada tahun 1930 ketika itulah ia mengemukakan gagasannya yang
amat monumental tentang perlunya mewujudkan negara tersendiri bagi kaum
muslimin yang terpisah dengan India yang hindu.
·
Pada bulan–bulan
terakhir tahun 1931 iqbal mengikuti Konferensi Meja Bundar II di
London. Sekembalinya dari sana ia menghadiri Kongres Muslim Dunia di Yerussalem. Pada tahun 1932 Iqbal kembali lagi ke London untuk menghadiri
Konferensi Meja Bundar III. Di pagi
hari tanggal 21 April 1938 ia
meninggal dunia dalam usia 67 tahun. Dan memang ia meninggal dengan senyum
ketenangan, seraya bibirnya menyebut Allah. (Muhammad
Iqbal: www.http//wordpres.com).
B. Latar Belakang Pendidikannya
Iqbal berasal dari keluarga miskin,
dengan mendapatkan beasiswa dia mendapat pendidikan bagus. Keluarga Iqbal
berasal dari keluarga Brahmana Kashmir yang telah memeluk agama Islam sejak tiga abad sebelum kelahiran Iqbal, dan menjadi
penganut agama Islam yang taat.
Pada usia sekolah, Iqbal belajar Al
Qur’an di surau. Disinilah Iqbal banyak hafal ayat-ayat Al Qur’an yang
selanjutnya jadi rujukan pengembangan gagasannya dalam pembaharuan
keislamannya.
Selanjutnya dia meneruskan ke Scottish Mission School Sialkot. Disini
dia bertemu guru ternama sekaligus teman karib ayahnya, Sayid Mir Hasan.
Pengaruh Mir Hasan ini sangat kuat pada dirinya ini dibuktikannya dengan
menolak pemberian gelar Sir oleh pemerintah inggris pada tahun 1922, sebelum
gurunya mendapat gelar kehormatan pula, yaitu Syams al-Ulama
Pada tahun 1895 Iqbal menyelesaikan
pelajarannya di Scottish dan pergi ke Lahore. Disini ia melanjutkan studi Government College, gurunya adalah Sir Thomas
Arnold. Disini dia mendapatkan dua kali medali emas karena baiknya bahasa Inggris
dan Arab karena kejeniusannya pula dia menjadi mahasiswa kesayangan Sir Thomas
Arnold. Arnoldlah yang mendorongnya agar melanjutkan pendidikannya ke Inggris
karena melihat kejeniusan Iqbal. Setelah selesai di Government College Iqbal
belajar ke Eropa pada tahun 1905. Dari sini pengembangan intelektual Iqbal
dimulai.
Iqbal memilih melanjutkan di Cambridge
University, Inggris, ia belajar filsafat dengan Mc. Taggart, kemudian
mengambil gelar doktor (Ph.D) di Munich Jerman dan luluspada tahun1908 dengan
disertasi berjudul The Development
of Methapysics of Persia.Didalam
disertasi inilah Iqbal mengkritik tajam ajaran tasawwuf dengan mengatakan tidak
mempunyai dasar yang kukuh dan historis dalam ajaran Islam yang murni. Iqbal
melihat ada nilai-nilai baik yang transendental yang tak dimiliki oleh Eropa
Barat, menurut Iqbal kehilangan semangat spritual dan terlalu menumpukan pada
rasio dalam menjawab setiap problematika.Meskipun ia mengakui Eropa baik, tapi
ia yakin Islam lebih baik. Dia kembali dari Eropa sebagai PanIslamis bahkan
bisa dikatakan sebagai puritan. Perubahan spritual dan ideologis Iqbal makin
dalam dari nasionalis menjadi kampiun kebangsaan Muslim dia merasa yakin bahwa
antara Hindu dan Islam harus punya negara masing-masing secara terpisah dan
tindakannya sendiri sudah jelas. (Munir
: 2012.www.blogspot.com)
C.
BUAH KARYA
MUHAMMAD IQBAL
Muhammad Iqbal adalah seorang yang kreatif berpuisi.
Segala pemikiran dan perjuangannya terpancar dalam puisinya yang bernafaskan
Islam dengan pengolahan bahasa dan bait syair yang indah. Oleh kerana itu
beliau lebih dikenal sebagai sastrawan besar islam. Antara karya puisinya yang
dianggap besar pernah diterbitkan ialah Asrari Khudi (Rahasia Pribadi), terbit
pada tahun 1915, diikuti dengan Rumuz bi Khudi (Rahasia tidak Mementingkan Diri
Sendiri), pada tahun 1917, Fayami Mashriq (Pesan Untuk Timur), Tulu'ul Islam
(Munculnya Islam) dan banyak lagi pada tahun-tahun berikutnya, bukunya yang
dianggap penting ialah Reconstruction of Religious Thought in Islam (Membina
Kembali Cita-Cita Keagamaan Dalam Islam), Develoment of Methaphysies in Persia
: A Contribution to the History of Moslem Philoshopy (perkembangan metafisika
Persia suatu sumbangan untuk sejarah filsafat Islam) dan sebuah lagi yang tidak
dapat disiapkannya kerana sakit tua yang dideritanya ialah The Reconstruction
of Muslim Jurisprudence. Kebanyakan sajak-sajaknya ditulisnya dalam bahasa
Parsi dan Urdu. (www.bimbie.com/muhammad-iqbal.htm)
D.
Pemikiran –
Pemikiran Muhammad Iqbal
- Pemikiran tentang Al-Qur’an
Sebagai seorang yang terdidik dalam
keluarga yang kuat memegang prinsip Islam, Iqbal meyakini bahwa al-Qur’an
adalah benar firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui
perantara Malaikat Jibril. Al-Qur’an adalah sumber hukum utama dengan
pernyataannya “The Qur’an Is a book which emphazhise deed rather than idea”
(al-Qur’an adalah kitab yang lebih mengutamakan amal daripada cita-cita). Namun
dia berpendapat bahwa al-Qur’an bukanlah undang-undang. Dia berpendapat bahwa
penafsiran al-Qur’an dapat berkembang sesuai dengan perubahan jaman, dan pintu
ijtihad tidak pernah tertutup. Tujuan utama al-Qur’an adalah membangkitkan
kesadaran manusia yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta,
jika al-Qur’an tidak memuatnya secara detail maka manusialah yang dituntut
untuk mengembangkannya. Dalam istilah fiqh hal ini disebut ijtihad. Ijtihad
dalam pandangan Iqbal adalah sebagai prinsip gerak dalam struktur Islam.
Disamping itu al-Qur’an memandang bahwa kehidupan adalah satu proses cipta yang
kreatif dan progresif. Oleh karenanya, walaupun al-Qur’an tidak melarang untuk
memperimbangkan karya besar ulama terdahulu, namun masyarakat harus berani
mencari rumusan baru secara kreatif dan inovatif untuk menyelesaikan persoalan
yang mereka hadapi. Akibat pemahaman yang kaku terhadap ulama terdahulu, maka
ketika masyarakat bergerak maju, hukum tetap berjalan di tempatnya.
Iqbal juga mengeluh tentang
ketidakmampuan masyarakat India dalam memahami al-Qur’an disebabkan tidak
memahami bahasa arab dan telah salah mengimpor ide-ide India (Hindu) dan Yunani
ke dalam Islam dan Al-Qur’an. Iqbal begitu terobsesi untuk menyadarkan umat
Islam untuk lebih progresif dan dinamis dari keadaaan statis dan stagnan dalam
menjalani kehidupan duniawi. Karena berdasarkan pengalaman, agama Yahudi dan
Kristen telah gagal menuntun ummat manusia menjalani kehidupan. Kegagalan
Yahudi disebabkan terlalu mementingkan legalitas kehidupan duniawi. Sedangkan
kegagalan Kristen adalah dalam memberikan nilai-nilai kepada pemeliharaan
Negara, undang-undang dan organisasi disebabkan terlalu mementingkan segi
ibadah ritual. Dalam kegagalan kedua agama tersebut, menurut Iqbal, al-Qur’an
berada di tengah-tengah dan sama-sama mengajarkan keseimbangan kedua kehidupan
tersebut, tanpa membeda-bedakannya.
Baginya antara politik pemerintahan
dan agama tidak ada pemisahan sama sekali. Inilah yang dikembangkannya dalam
merumuskan ide berdirinya Negara Pakistan yang memisahkan diri dari India yang
mayoritas Hindu.
- Pemikiran tentang Hadith
Sejak dulu hadith memang selalu
menjadi bahan yang menarik untuk dikaji. Baik umat Islam maupun kalangan
orientalis. Tentu saja maksud dan titik berangkat dari kajian tersebut berbeda
pula. Umat Islam didasarkan pada rasa tanggung jawab yang begitu besar terhadap
ajaran Islam. Sedangkan orientalis mengkajinya hanya untuk kepentingan ilmiah.
Bahkan terkadang hanya untuk mencari kelemahan ajaran Islam lewat ajaran Islam
itu sendiri.
Iqbal memandang bahwa ummat Islam
perlu melakukan studi mendalam terhadap literatur hadith dengan berpedoman
langsung kepada Nabi sendiri selaku orang yang mempunyai otoritas untuk
menafsirkan wahyunya. Hal ini sangat besar faedahnya dalam memahami nilai-nilai
hidup dari prinsip-prinsip hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan al-Qur’an.
Iqbal sepakat dengan pendapat Syaikh
Waliyullah tentang hadith, yaitu cara Nabi dalam menyampaikan dakwah Islam
dengan memperhatikan kebiasaan, cara-cara dan keganjilan yang dihadapinya
ketika itu. Selain itu juga Nabi sangat memperhatikan sekali adat istiadat
penduduk setempat. Dalam penyampaiannya, Nabi lebih menekankan pada
prinsip-prinsip dasar kehidupan sosial bagi seluruh umat manusia, tanpa terkait
oleh ruang dan waktu. Jadi peraturan-peraturan tersebut khusus untuk umat yang
dihadapi Nabi. Untuk generasi selanjutnya, pelaksanaannya mengacu pada prinsip
kemaslahatan. Dari pandangan ini Iqbal menganggap wajar saja kalau Abu Hanifah
lebih banyak mempergunakan konsep istihsan dari pada hadits yang masih meragukan
kualitasnya. Ini bukan berarti hadith-hadith pada jamannya belum dikumpulkan,
karena Abu Malik dan Az-Zuhri telah membuat koleksi hadits tiga puluh tahun
sebelum Abu Hanifah wafat. Sikap ini diambil Abu Hanifah karena ia memandang
tujuan-tujuan universal hadith daripada koleksi belaka.
- Pemikiran tentang Ijtihad
Menurut Iqbal, ijtihad adalah “Exert
with view to form an independent judgment on legal question”
(bersungguh-sungguh dalam membentuk suatu keputusan yang bebas untuk menjawab
permasalahan hukum). Kalau dipandang, baik hadith maupun al-Qur’an memang ada
rekomendasi tentang ijtihad tersebut. Disamping ijtihad pribadi, hukum Islam
juga memberi rekomendasi keberlakuan ijtihad kolektif. Ijtihad inilah yang
selama berabad-abad dikembangkan dan dimodifikasi oleh ahli hukum Islam dalam
mengantisipasi setiap permasalahan masyarakat yang muncul sehingga melahirkan
aneka ragam pendapat (madzhâb). Sebagaimana mayoritas ulama, Iqbal membagi
ijtihad ke dalam tiga tingkatan, yaitu :
1.
Otoritas
penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri madzhâb-mazhâb saja.
2.
Otoritas
relatif yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhâb.
3.
Otoritas
khusus yang berhubungan dengan penetapan hukum dalam kasus-kasus tertentu,
dengan tidak terkait pada ketentuan-ketentuan pendiri madzhâb.
Iqbal menggaris bawahi pada derajat
yang pertama saja. Menurut Iqbal, kemungkinan derajat ijtihad ini memang
disepakati diterima oleh ulama ahl al-sunnah, tetapi dalam kenyataannya dipungkiri
sendiri sejak berdirinya mazhâb-mazhâb. Ide ijtihad ini dipagar dengan
persyaratan ketat yang hampir tidak mungkin dipenuhi. Sikap ini, lanjut Iqbal,
adalah sangat ganjil dalam suatu sistem hukum al-Qur’an yang sangat menghargai
pandangan dinamis. Akibat ketentuan ketatnya ijtihad ini, menjadikan hukum
Islam selama lima ratus tahun mengalami stagnasi dan tidak mampu berkembang .
Ijtihad yang menjadi konsep dinamis hukum Islam hanya tinggal sebuah
teori-teori mati yang tidak berfungsi dan menjadi kajian-kajian masa lalu saja.
Demikian juga ijma’ hanya menjadi mimpi untuk mengumpulkan ulama, apalagi dalam
konsepnya satu saja ulama yang tidak setuju maka batallah keberlakuan ijma’
tersebut, hal ini dikarenakan kondisi semakin meluasnya daerah Islam. Akhirnya
kedua konsep ini hanya tinggal teori saja, konsekuensinya, hukum Islam pun
statis tidak berkembang selama beberapa abad.
4.
Pemikiran
politiknya
Pada tahun 1927, Iqbal berkiprah di
arena politik secara aktif dan Ia dipilih sebagai perwakilan Dewan Punjab selama
tiga tahun. Selanjutnya pada tahun 1930 diangkat menjadi presiden Sidang
Tahunan Liga Muslim yang berlangsung di Allahabad. Dalam kesempatan ini Iqbal
mengutarakan ide pembentukan sebuah negara Islam Pakistan. Ide ini dibentangkan
berdasarkan geografi, keagamaan dan kesejahteraan masyarakat Islam yang
jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan masyarakat Hindu. Tujuan membentuk
negara islam itu ditegaskan oleh Iqbal dalam rapat Liga Muslim pada tahun 1930
yang mendapat dukungan dari para anggotanya. Sejak saat itu ide dan tujuan
pembetukan negara Islam tersebut diumumkan secara resmi dan kemudian menjadi
tujuan perjuangan nasional umat Islam India. Disebabkan gagasan ide ini, Iqbal
telah diberi julukan sebagai : ‘Bapak Pakistan’. Daerah-daerah yang diinginkan
oleh Iqbal menjadi satu negara Islam India adalah Punjab, daerah perbatasan
Utara Sind dan Balukhistan. Di samping menyuarakan pembentukan negara Islam
Pakistan, Iqbal juga menyeru kepada kebangkitan dan mempererat persaudaraan
Islam sedunia. Bagaimanapun sebagai seorang yang dilahirkan di Timur, Iqbal
tetap mempertahankan dan menyanjung kebudayaan dan keperibadian Timur yang
halus, tinggi dan indah. Tentunya termasuk dalam arti kata Timur itu ialah
hasil budaya masyarakat benua kecil India. Terbentuknya negara islam Pakistan
sebagaimana yang dicita-citakan Muhammad Iqbal dapat tercapai pada tahun 1947
setelah beliau meninggal dunia.
5.
Pemikiran Filsafatnya
Pemikiran Muhammad Iqbal tentang
Filsafat DiriIqbal memiliki beberapa gagasan menarik seputar pemikiran dan
filsafat Islam. Salah satu gagasannya yang terkenal adalah penjelasan tentang konsep ego (khudi). Menurut Iqbal ego adalah pendorong
daya aktivitas, dan kreativitas pada setiap manusia. Setiap manusia memilki ego
yang berbeda, karenanya hasil kreasi yang yang mereka ciptakan juga tidak sama.
Dalam tulisannya iqbal berpendapat bahwa kesatuan intuitif atau titik kesadaran
pencerahan merupakan hal yang menerangi pikiran, perasan dan keinginan manusia
merupakan hal yang diliputi rahasia serta mengorganisasi berbagai kemampuan
yang tidak terbatas dalam ftrah manusia.
Iqbal menolak intelektualisme, dalam
hal ini sejalan dengan pemikiran Nietczhi dan Bergsan, demikian pula dengan
tasawuf. Dengan intelektualitas semata-mata “diri” belum sempurna., oleh karena
yang lebih utama adalah “karsa”, disamping peranan naluri-naluri perasaan
sebagaimana pendapat William Medougali. Dari tasawuf Ar-Rumi beliau menerima
peranan “cinta” dalam diri manusia, sedangkan menurut Nietczhi tentang manusia
adalah berkarsa (voluntarisme) yang oleh Nietczhi disebut “Uber Mensh” dan oleh
Iqbal disebut “Mukmin”. Sedangkan prinsip adanya unsur “unbelief” dalam ajaran
Nietczhi ditolaknya digantikan dengan unsur ‘imam” Ar-Rumi.
Iqbal tidak mutlak menerima Bergson
yang anti intelektualisme, karena menurut Iqbal intelektualisme itu tetap
diperlukan, tetapi harus integral denga hati dan kemauan (bandingan denga sufi
yang hanya mengutamakan perasan hati).
Selanjutnya menurut iqbal, suatu
Individu dalam prosesnya berkembang secara evolusi menuju “kepribadian”
(personality, ego, khudi) merupakan integritas antara fisik dan psikis. (www.slideshare.net//pemikiran-muhammad-iqbal)
0 komentar:
Posting Komentar