Kamis, 25 Juni 2015 8 komentar

PENGERTIAN SADDU DZARI’AH



1.pengertian saddu dzari’ah
1.      Secara Etimologi
Kata sadd adz-dzari’ah (سد الذريعة) merupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd (سَدُّ)dan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة). Secara etimologis, kata as-sadd (السَّدُّ)merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari سَدَّ يَسُدُّ سَدًّا. Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang. Sedangkan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) adalah adz-dzara’i (الذَّرَائِع). Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzara’i.
Saddu Dzara’i berasal dari kata sadd dan zara’i. Sadd artinya menutup atau menyumbat, sedangkan zara’i artinya pengantara
Dzari’ah berarti “jalan yang menuju kepada sesuatu.” Ada juga yang mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan “sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudaratan.” Akan tetapi Ibn Qayyim al-Jauziyah (ahli fiqh) mengatakan bahwa pembatasan pengertian dzari’ah kepada sesuatu yang dilarang saja tidak tepat, karena ada juga dzari’ah yang bertujuan kepada yang dianjurkan. Oleh sebab itu, menurutnya pengertian dzari’ah lebih baik dikemukakan yang bersifat umum , sehingga dzari’ah itu mengandung dua pengertian, yaitu: yang dilarang (sadd al-dzariah) dan yang dituntut untuk dilaksanakan (fath al-dzari’ah).
Pada awalnya, kata adz-adzari’ah dipergunakan untuk unta yang dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang pemburu agar bisa mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung di samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika unta sudah dekat dengan binatang yang diburu, sang pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-A’rabi, kata adz-dzari’ah kemudian digunakan sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain.
2.      Secara terminologi
Ibnul Qayyim dan Imam Al-Qarafi menyatakan bahwa Dzari’ah itu ada kalanya dilarang yang disebut Saddus Dzari’ah, dan ada kalanya dianjurkan bahkan diwajibkan yang disebut fath ad-dzari’ah. Seperti meninggalkan segala aktivitas untuk melaksanakan shalat jum’at yang hukumnya wajib. Tetapi Wahbah Al-Juhaili berbeda pendapat dengan Ibnul qayyim. Dia menyatakan bahwa meninggalkan kegiatan tersebut tidak termasuk kedalam dzari’ah tetapi dikategorikan sebagai muqaddimah (pendahuluan) dari suatu perbuatan.
Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariah sebagai sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan adz-dzari’ah secara umum dan tidak mempersempitnyahanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-dzari’ah yang pada awalnya memang dilarang. Klasifikasi adz-dzariah oleh Ibnu al-Qayyim tersebut akan dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
Kesimpulannya adalah bahwa Dzari’ah merupakan washilah (jalan) yang menyampaikan kepada tujuan baik yang halal ataupun yang haram. Maka jalan/ cara yang menyampaikan kepada yang haram hukumnyapun haram, jalan / cara yang menyampaiakan kepada yang halal hukumnyapun halal serta jalan / cara yang menyampaikan kepada sesuatu yang wajib maka hukumnyapun wajib.
Contohnya:
-   Zina hukumnya haram, maka melibat aurat wanita yang menghantarkan kepada perbuatan zina juga merupakan haram
-  shalat jum,at merupakan kewajiban maka meninggalkan segala kegiatan untuk melaksanakan shalat jum’at wajib pula hukumnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.










2.       Dasar hukum saddu dzari’ah
1)      Al qur’an
Surah Al-An’am ayat : 108 
Artinya “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.(QS. Al an’am: 108)”.
Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah adz-dzari’ah yang akan menimbulkan  adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan tindakan preventif (sadd adz-dzari’ah). Seperti dalam surah Al-Baqarah ayat 104.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi Katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.(QS. Al baqoroh: 104)
Pada surah al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Kata raa ‘ina (رَاعِنَا) berarti: “Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek dan menghina Rasulullah SAW. Mereka menggunakannya dengan maksud kata raa’inan (رَعِنًا)sebagai bentuk isim fail dari masdar kata  ru’unah(رُعُوْنَة)yang berarti bodoh atau tolol.Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi SAW mengganti kata raa’ina yang biasa mereka pergunakan dengan unzhurna yang juga berarti sama dengan raa’ina. Dari latar belakang dan pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd adz-dzari’ah.

2). As sunnah
1)      Diantara dalil sunnah adalah larangan menimbun demi mencegah terjadinya keulitan atas manusia. Nabi juga melarang orang yang berpiutang menerima hadiah dari orang yang berhutang demi menutup celah riba.
2)      Fuqaha sahabat juga menerapkan prinsip ini, hingga mereka memberikan waris kepada wanita yang dicerai ba’in, jika suami mencerainya dalam keadaan sakit kritis, demi untuk menutup terhalanginya celah istri dari mendapatkan warisan
عَنْعَبْدِاللَّهِبْنِعَمْرٍورَضِيَاللهُعَنْهُمَاقَالَقَالَرَسُولُاللهِصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَإِنَّمِنْأَكْبَرِالْكَبَائِرِأَنْيَلْعَنَالرَّجُلُوَالِدَيْهِقِيلَيَارَسُولَاللهِوَكَيْفَيَلْعَنُالرَّجُلُوَالِدَيْهِقَالَيَسُبُّالرَّجُلُأَبَاالرَّجُلِفَيَسُبُّأَبَاهُوَيَسُبُّأُمَّهُ
Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya.” Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut
1.   Kedudukan sebagai sumber hukum
Kedudukan Saddu Dzari’ah
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd al-dzarỉ‘ah sebagai metode dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2) yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas.
Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain, kelompok ini menolak sadd al-dzarỉ‘ah sebagai metode istinbath pada kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain.
Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Zhahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual(zhâhir al-lafzh). Sementara sadd al-dzarỉ‘ah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd al-dzarỉ‘ah adalah semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nashsecara langsung.
Masalah ini menjadi perhatian para ulama’ karena banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan kearah itu, umpamanya:
1.Surat Al-An’am ayat 108 yang artinya: Janganlah kamu caci orang yang menyembah selain Allah, karena nanti ia akan memushi tanpa pengetahuan.
Sebenarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah itu boleh-boleh saja, bahkan jika perlu boleh memeranginya, namun karena perbuatan mencaci dan menghina itu akan menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah, maka perbuatan mencaci dan menghinanya menjadi dilarang.
 2.Surat al-Nur ayat 31 yang artinya: Janganlah perempuan itu menghentakkan kakinya supaya diketahui orang perhiasan yang tersembunyi didalamnya.
Sebenarnya menghentakkan kaki itu bagi perempuan boleh saja, tapi kaena menyebabkan perhiasannya yang tersembunyi doketahui orang sehingga menimbulkan angsangan bagi yang mendengarnya, maka menghentakkan kaki bagi perempuan itu menjadi terlarang.
Dari dua contoh ayat diatas terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlarang, meskipun pada dasarnya perbuatan itu boleh hukumnya.
Dari ayat yang sudah dibahas diatas juga dapat diketahui bahwa Saddus Zari,ah mempunyai dasar dari al-Qur,an, sedangkan dasar-dasar saddus zari’ah dari sunnah adalah:
  1. Nabi melarang membunuh orang munafik, karena membunuh orang munafik bisa menyebabkan nabi dituduh membunuh sahabatnya.
  2. Nabi melarang kreditor untuk menerima hadiah dari debitor karena cara demikian bisa mengarah kepada riba, atau untuk ikhtiyat.
  3. Nabi melarang memotong tangan pencuri pada waktu perang dan ditangguhkan sampai selesai perang, karena dikhawatikan tentara-tentara lari bergabung bersama musuh.
  4. Nabi melarang melakukan penimbunan karena penimbunan bisa mengakibatkan kesulitan manusia.
Nabi melarang fakir miskin dari bani hasyim menerima bagian dari zakat agar tidak menimbulkan fitnah bahwa nabi memperkaya diri dan keluarganya dari zakat





1.Objek Saddu Al-Dzari’ah
Pada dasranya yang menjadi objek dzari’ah adalah semua perbuatan ditinjau dari segi akibatnya yang dibagi menjadi empat, yaitu :
1)   Perbuatan yang akibatnya menimbulkan kerusakan/bahaya, seperti menggali sumur di belakang pintu rumahdijalan gelap yang bisa membuat orang yang akan masuk rumah jatuh kedalamnya.
2)   Perbuatan yang jarang berakibat kerusakan/bahaya, seperti berjual makanan yang tidak menimbulkan bahaya, menanam anggur sekalipun akan dibuat khamar. Ini halal karena membuat khamar adalah nadir (jarang terjadi)
3)   Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya; tidak diyakini dan tidak pula dianggap nadir (jarang terjadi). Dalam keadaan ini, dugaan kuat disamakan dengan yakin karena menutup pintu (saddu dzari’ah) adalah wajib mengambil ihtiat (berhati-hati) terhadap kerusakan sedapat mungkin, sedangkan ihtiat tidak diragukan lagi menurut amali menempati ilmu yakin. Contohnya menjual senjata diwaktu perang/fitnah, menjual anggur untuk dibuat khamar, hukumnya haram.
4)   Perbuatan yang lebih banyak menimbulkan kerusakan, tetapi belum mencapai tujuan kuat timbulnya kerusakan itu, seperti jual-beli yang menjadi sarana bagi riba, ini diharamkan. Mengenai bagian keempat initerjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama, apakah ditarjihkan yang haram atau yang halal. Imam Malik dan Imam Ahmad menetapkan haram.

1.Pengelompokan Saddu Dzari’ah
Dzari’ah dapat dikelompokkan dengan melihat beberapa segi:
1)      Dari segi akibat (dampak) yang ditimbulkannya, Ibnu Qayyim membagi dzari’ah menjadi 4 yaitu:
-  Dzari’ah yang pada dasarnya membawa kepada kerusakan. Contohnya, minuman yang memabukkan akan merusak akal dan perbuatan zina akan merusak keturunan.
-  Dzari’ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah (boleh), namun ditujukan untuk pebuatan buruk yang merusak baik yang disengaja seperti nikah muhallil, atau tidak disengaja seperti mencaci sesembahan agama lain.
-  Dzari’ah yang semula ditentukan mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun biasanya sampai juga kepada kerusakan dan kerusakan itu lebih besar daripada kebaikannya. Seperti berhiasnya seorang istri yang baru ditinggal mati oleh suaminya, sedangkan dia dalam masa iddah

-  Dzari’ah yang semula ditentukan mubah, namun terkadang membawa kepada kerusakan tetapi kerusakannya lebih kecil daripada kebaikannya. Contoh dalam hal ini adalah melihat wajah perempuan saat dipinang.
2) Dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkannya, Abu Ishak al-Syatibi membagi dzari’ah menjadi 4 macam:
-  Dzari’ah yang membawa kerusakan secara pasti. Umpamanya menggali lobang ditanah sendiri yang lokasinya didekat pintu rumah orang lain diwaktu gelap.
-  Dzari’ah yang kemungkinan besar mengakibatkan kerusakan. Umpamanya menjual anggur kepada pabrik minuman dan menjual pisau tajam kepada penjahat yang sedang mencari musuhnya.
-  Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan.
-  Perbuatan yang pada dasarnya mubah karena mengandung kemaslahatan, tetapi dilihat dari pelaksanaannya ada kemungkinan membawa kepada sesuatu yang dilarang. Misalnya semacam jual-beli yang dilakukan untuk mengelak dari riba, umpama si A menjual arloji kepada si B dengan harga rp 1.000.000 dengan hutang, dan ketika itu arloji tersebut dibeli lagi oleh si A dengan harga rp 800.000 tunai, si B mengantongi uang p 800.000 tetapi nanti pada waktu yang sudah ditentukan si B harus membayar rp 1000.000 pada si A.  Jual beli seperti ini dikenal dengan bai’ al-ainah atau bai’ul ajal.

1..Contoh saddu Al-Dzari’ah
Melarang perbuatan/permainan judi tanpa uang. Melarang orang minum seteguk minuman keras, padahal seteguk itu tidak memabukkan. Melihat aurat perempuan itu dilarang, untuk menyumbat jalan terjadinya perzinaan. Larangan semacam ini untuk menutup jalan agar jangan sampai muncul/bertambahnya penjudi, pemabuk, dan pezina.
0 komentar

MAKALAH



2.1 Pengertian Tayammum
            Tayammum secara bahasa berarti “kesengajaan, maksud”. Sedangkan menurut istilah, tayammum adalah mengusap wajah dan kedua tangan menggunakan debu yang suci sesuai aturan yang telah ditentukan, sebagai pengganti wudlu atau mandi karena adanya udzur.

2.2 Sebab-Sebab Diperbolehkannya Tayammum, Syarat-Syarat, dan Fardlu-fardlu Tayammum
            Tayammum dapat mengganti kedudukan wudlu atau mandi dengan sebab adanya udzur, hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala yang berarti: “ Jikalau kamu semua sakit atau dalam keadaan bepergian dan kamu semua tidak menemukan air, maka bertayammumlah kamu semua dengan debu yang suci.”
Juga berdasarkan sabda Nabi saw kepada seseorang yang terkena janabat dan tidak mendapatkan air, yang artinya: “sebenarnya cukuplah untukmu hanya dengan menggunakan debu saja yakni bertayammum.”
            Berdasarkan  uraian di atas, dapat diketahui sebab-sebab diperbolehkannya tayammum sebagai berikut:
a.       Tidak ada atau tidak menemukan air seperti ketika bepergian di padang pasir.
b.      Takut menggunakan air karena sakit.
Dalam hal ini, sakit yang diderita oleh orang tersebut akan bertambah parah apabila terkena air atau sakitnya tersebut belum boleh terkena air, seperti luka yang diperban pada bagian tangan dan luka tersebut tidak boleh terkena air terlebih dahulu sebelum benar-benar kering.
c.       Ada air, namun jumlahnya yang sangat sedikit dan hanya cukup untuk minum.

Dari sebab-sebab di atas, dapat pula kami jelaskan syarat-syarat tayammum itu ada 4, yaitu sebagai berikut:
a.       Sudah berusaha mencari air sebelum melakukan tayammum
b.      Menggunakan debu yang suci, kering, serta halus
c.       Melakukan tayammum setelah masuk waktu shalat
d.      Tayammum sekali hanya untuk fardhu satu

Setelah mengetahui syarat-syarat tayamum, ada baiknya kita juga mengetahui fardu-fardunya tayamum. Fardu-fardunya tayamum ada 4 yaitu sebagai berikut:
a.       Niat tayammum agar bisa melakukan shalat.
Niatnya di dalam hati. Apabila mengucapkan niat dengan lisan, hukumnya sunah. Niat tayammum yaitu yang artinya: “saya niat tayammum supaya dapat melakukan shalat fardlu karena Allah Ta’ala”
b.      Mengusapkan debu pada wajah dan kedua tangan sampai kedua siku dengan dua pukulan. Jadi satu pukulan diusapkan pada wajah dan satu pukulan lagi diusapkan pada kedua tangan secara bergantian.
c.       Memindahkan debu pada anggota yang diusap
d.      Tertib, yaitu mendahulukan yang harus didahulukan dan mengakhirkan yang harus diakhirkan.


2.3 Sebab-sebab yang Membatalkan Tayamum dan Sunah-Sunah Tayammum
           Seperti halnya wudlu, tayamum juga memiliki sebab-sebab yang membatalkannya. Sebab-sebab tersebut yaitu:
a.    Semua perkara yang membatalkan wudlu
b.   Melihat air sebelum memulai shalat, apabila tayammumnya itu disebabkan karena tidak menemukan air. Namun, apabila karena sakit, tetap wajib wudlu kembali apabila menggunakan air tersebut tidak membuat sakitnya semakin parah.
Jadi, apabila menemukan air setelah takbiratul ihram, hukum tayammumnya tetap sah dan shalatnya dapat dilanjutkan.
c.    Murtad, yaitu keluar dari agama Islam

Setelah membahas tentang sebab-sebab yang membatalkan tayammum, selanjutnya kami akan membahas tentang sunah-sunahnya tayammum.
Sunah-sunah tayammum adalah sebagai berikut:
a.    Membaca basmalah.
b.   Mendahulukan tangan yang sebelah kanan daripada tangan yang sebelah kiri dari kedua tangannya dan mendahulukan bagian atas wajahnya daripada bagian bawah wajahnya.
c.    Muwalah, yaitu susul menyusul dengan segera.

Masih ada sunah-sunah tayammum yang lain, diantaranya menipiskan debu yang menempel pada kedua telapak tangan sebelum mengusapkannya pada wajah dan kedua tangan, orang yang bertayammum hendaknya melepas cincin ketika melakukan pukulan yang pertama, namun hal tersebut dapat menjadi wajib ketika melakukan pukulan yang kedua.
...
 
;